Ustadz Menulis

LIMA LANGKAH TAQWA

LIMA LANGKAH TAQWA

Farhat Asy Syuja’i

Taqwa adalah bekal utama seorang hamba menuju Allah Ta’ala. “Maka berbekallah kalian semua, sesungguhnya (khairu zad) sebaik baik bekal adalah taqwa.” (QS Al Baqarah : 197). Para ulama’ banyak sekali mendefinisikan makna taqwa. Termasuk jalan yang harus ditempuh seorang hamba untuk mendapatkannya agar semakin meningkat qorobah, semakin bertambah khasyah, semakin bertumbuh mahabbah kepada Allah Ta’ala sebagai tujuannya.

Dr. Abdullah Nashih Ulwan dalam Ruhaniyatud Da’iyah menyarikan dari Kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al Ghozali, merumuskan jalan taqwa itu dalam lima langkahnya :  Mu’ahadah, Muroqobah, Muhasabah, Mu’aqobah, dan Mujahadah.

  1. Mu’ahadah : Janji hamba kepada Rabbnya

Dan ingatlah ketika Rabbmu mengeluarkan dari tulang punggung anak cucu Adam, keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksiannya terhadap diri mereka sendiri (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Rabb kalian?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Rabb kami), kami bersaksi.” (Kami melakukannya) agar pada hari Kiamat kamu (tidak) mengatakan, “Sesungguhnya kami lalai terhadap hal ini,” (QS Al A’raf : 172)

Imam Ibnu Katsir menjelaskan, “Allah Ta’ala memberitahukan bahwa Dialah yang menciptakan dan mengeluarkan anak keturunan Adam dari sulbi para ayahnya, dalam keadaan bersaksi atas dirinya sendiri tentang keesaan Allah sebagai Rabb Yang Menguasai mereka dan dengan demikian tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Dia.”

Al Allamah As Sa’di menyampaikan, “Maka sesungguhnya Allah Ta’ala telah menciptakan hamba-Nya di atas fitrah agama yang hanif dan qayim, lurus lagi tegak. Maka setiap insan difitrahkan berada di atas yang demikian, hingga terjadilah ketersimpangan karena keyakinan yang rusak dan godaan syaithan.”

Dan ingatlah akan karunia Allah kepadamu dan perjanjian-Nya yang telah diikatkan kepadamu, ketika kamu mengatakan, “Kami mendengar dan kami menaati.” Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Maha Mengetahui segala isi hati.” (QS Al Maidah : 7).

Dalam mu’ahadah kehambaan, taqwa mengandung makna bahwa Allah mengetahui segala gerak diri bahkan segala isi hati.

  1. Muraqabah : Merasakan pengawasan Allah yang senantiasa melekat setiap saat.

Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” (QS An Nisa : 1)

Setelah memahami bahwa diri telah berjanji, taka da pengikat yang lebih kuat agar kita selalu dalam keadaan taat selain perasaan bahwa diri ini senantiasa diawasi. Bagaimanakah kita dapat merasa aman, jika Yang Melihat adalah Dzat Yang Mengetahui yang zhahir dan bathin, yang tampak dan yang tersembunyi ?

Kemana kita akan mengelak jika Yang Menyaksikan adalah Pemilik langit dan bumi ? Dan kapan kah kita akan merasa bebas, jika Yang Menatap tak pernah disentuh kantuk dan tak pernah tidur ? Dan betapa kah kita tidak merasa malu, jika Yang Memandangi adalah Dzat Yang Maha Suci lagi Maha Terpuji ?

Allah juga titahkan malaikat malaikat pencatat yang mulia berada di sisi kanan dan kiri kita, merekam seluruh perbuatan kita dari dua sudut pandang. Mereka terus bekerja dan tak pernah alpa dalam tugasnya, sejak kita baligh hingga mati, dari bangun tidur sampai lelap kembali, kesemua itu kelak ditayangkan ulang, menjadi hujjah yang akan menggugat diri di hadapan Hakim Yang Maha Adil. Adakah nikmat-Nya justru kita gunakan untuk mendurhakai-Nya ?

Maka muraqabah mengantarkan kita pada kewaspadaan akan sebegitu lengkap dan rincinya kelak semua akan ditampakkan.

  1. Muhasabah : Pengingat diri dan evaluasi kesiapan untuk hari yang akan datang.

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS Al Hasyr : 18)

Amirul Mukminin Umar bin Khattab berwasiat, “Hitung hitunglah bagi diri kalian sendiri sebelum kalian dihisab nanti.” Muhasabah akan membuat kita tercengang bahwa amalan kita memang hanyalah setetes air dibanding lautan nikmat-Nya. Muhasabah akan membuat kita tersentak bahwa dosa dosa kita lebih menggunung dibanding segala capaian yang membuat diri berbangga. Muhasabah akan membuat kita tertegun bahwa sungguh yang kita persiapkan untuk akhirat sama sekali belum seberapa.

Imam Asy Syafi’I memberikan nasihat, “Siapa yang menyaksikan pada dirinya ada keadaan lemah, maka dia akan mencapai istiqomah.” Maka dengan muhasabah kita merunduk, lalu kita pun mulai sibuk, sebab kita mengetahui kekurangan membuat kita ingin menambah, sebab kita memahami kelemahan membuat kita ingin berbenah.

  1. Mu’aqobah : Solusi ketika terjadi kegagalan di pertengahan jalan.

Imam Al Ghozali menuturkan, “Diri yang merasa sempurna, takkan dapat mengenali jalan menuju kebaikannya. Sebab dia memang tak merasa perlu berbenah. Diri yang bermuhasabah, baru terbukti imannya jika dia merasa bahagia dengan ketaatannya dan berduka atas maksiatnya. Diri yang bermuhasabah, seyogianya menghukum pribadinya jika berdosa, sebagai tanda sesal paling nyata agar kelak Allah mengampuninya. Inilah Mu’aqobah.”

“Bertaqwalah kepada Allah dimana pun kau berada. Ikutilah setiap keburukan yang terlanjur kau lakukan dengan kebaikan supaya dapat menebusnya. Dan bergaullah dengan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad, At Tirmidzi dan Ad Darimi)

Bentuk paling baik dari mu’aqobah adalah sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam di atas, yakni agar kita segera menyusuli keburukan dengan kebaikan. Maka Mu’aqobah adalah penebusan dunia atas kesalahan kita, agar kelak di akhirat berkuranglah sesal yang menyiksa.

  1. Mujahadah : Kesungguhan mengerahkan semua potensi diri demi meraih ridho Ilahi.

Orang-orang yang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk (mencari keridaan) Kami benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (QS Al Ankabut : 69)

Imam Sufyan Ats Tsauri menasihati, “Bekerjalah untuk duniamu, seukur denga berapa lamanya kau akan tinggal di bumi. Dan bekerjalah untuk akhiratmu, seukur pula dengan berapa panjangnya kau akan hidup disana.”

Di antara bentuk kesungguhan itu adalah untuk melestarikan kebaikan kebaikan kecil yang berhasil kita capai, sebab betapa berharganya amal sholih yang rutin tak terputus, meski hanya sedikit. Amal yang demikian inilah yang konsisten, bukan yang besar tapi hanya sekali sekali. Sebab kian sering ia dilakukan, kian kuat pertahanan hati kita dari segala perhatian, dilihat orang atau tidak, didengar kabarnya atau sepi, dibicarakan atau didiamkan dan dipuji atau digunjingkan. Tidak akan berpengaruh pada amal yang kita kerjakan.

Ini pula yang akan memberi kemungkinan bagi kita untuk mati dalam keadaan sedang mengajarkannya, seperti ujaran Imam Al Ghozali, “Seseorang akan mati di atas apa yang ia tegakkan selama hidupnya.”

Barakallah fikum. Semoga bermanfaat.

Purwosari, 8 Rajab 1446 H

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *